Dalam dua tahun terakhir, kenaikan harga telah menjadi tema utama ekonomi global. Bank sentral Taiwan menaikkan suku bunga sebanyak 5 kali, Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 7 kali dalam satu tahun, dan pemerintah di berbagai negara sedang berjuang melawan inflasi. Tapi sangat sedikit orang yang benar-benar memahami: apa itu inflasi? Mengapa terjadi? Dan bagaimana mendapatkan keuntungan dari situ?
Daripada pasrah menghadapi penurunan daya beli akibat inflasi, lebih baik secara aktif memahami mekanisme operasinya dan menemukan strategi penanggulangannya. Artikel ini akan membantu Anda merangkum esensi inflasi, langkah-langkah yang diambil bank sentral, serta yang terpenting—bagaimana membangun portofolio investasi tahan banting di era inflasi.
Esensi Inflasi: Ketidakseimbangan Uang dan Barang
Inflasi, singkatan dari inflasi harga konsumen, adalah fenomena di mana harga barang terus meningkat selama periode tertentu, yang menyebabkan daya beli uang menurun. Singkatnya, uang di kantong Anda semakin tidak berharga.
Ekonom menggunakan CPI (Indeks Harga Konsumen) untuk mengukur tingkat inflasi. Ketika CPI terus meningkat, itu berarti Anda perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli barang yang sama.
Bagaimana Inflasi Terjadi? Empat Pendorong Utama
Pertama: Permintaan Dorong
Ketika permintaan terhadap barang tiba-tiba meningkat, penjual akan menaikkan harga, sehingga harga barang naik. Permintaan meningkat → produksi meningkat → keuntungan perusahaan → investasi lebih lanjut → permintaan semakin tinggi. Ini membentuk siklus umpan balik positif. Menariknya, inflasi yang didorong oleh permintaan meskipun menaikkan harga, juga mendorong pertumbuhan GDP, sehingga pemerintah di berbagai negara berusaha merangsang permintaan.
Kedua: Dorongan Biaya
Kenaikan harga bahan baku secara langsung meningkatkan biaya produksi. Contoh paling nyata adalah selama konflik Rusia-Ukraina tahun 2022, Eropa tidak dapat mengimpor minyak dan gas dari Rusia, harga energi naik 10 kali lipat, menyebabkan CPI di zona euro meningkat lebih dari 10% per tahun, mencapai rekor tertinggi. Inflasi yang didorong oleh biaya ini sangat mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan penurunan output sosial dan kontraksi GDP.
Ketiga: Over-issuance Uang
Pemerintah tanpa kendali mencetak uang, langsung menyebabkan kelebihan uang beredar. Di Taiwan pada tahun 1950-an, untuk mengatasi defisit pasca perang, pemerintah menerbitkan banyak uang, akhirnya 8 juta dollar Taiwan hanya bernilai 1 dolar AS. Dalam sejarah, semua inflasi hiper yang parah disebabkan oleh kebijakan bank sentral yang ceroboh.
Keempat: Ekspektasi Kenaikan Harga
Ketika masyarakat memperkirakan harga akan terus naik di masa depan, mereka akan berbelanja lebih awal dan menuntut kenaikan gaji, sehingga penjual pun menaikkan harga. Begitu ekspektasi ini terbentuk, sulit untuk diubah, sehingga bank sentral di berbagai negara berusaha keras mengendalikan ekspektasi inflasi dan menunjukkan tekad kuat untuk menekan inflasi.
Mengapa Kenaikan Suku Bunga Dapat Menekan Inflasi? Apa Harganya?
Ketika bank sentral menaikkan suku bunga, meminjam uang menjadi lebih mahal. Misalnya, suku bunga dari 1% naik menjadi 5%, meminjam 1 juta menjadi biaya bunga tahunan dari 10 ribu menjadi 50 ribu—ini akan menakut-nakuti sebagian besar peminjam. Orang lebih memilih menyimpan uang di bank daripada berinvestasi atau berbelanja dengan risiko.
Likuiditas pasar berkurang → permintaan barang menurun → penjual terpaksa menurunkan harga untuk merangsang pembelian → tingkat harga kembali stabil. Inilah kekuatan dari kenaikan suku bunga.
Namun, harganya tidak boleh diabaikan: Ketika permintaan melemah, perusahaan akan mengurangi tenaga kerja untuk mengatasi penurunan penjualan, tingkat pengangguran naik, pertumbuhan ekonomi melambat, bahkan mengalami resesi. Contoh nyata di tahun 2022 adalah pasar saham AS—Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 425 basis poin untuk menekan CPI, yang menyebabkan indeks S&P 500 turun 19%, dan Nasdaq anjlok 33%.
Inflasi Rendah Adalah Baik, Inflasi Tinggi Adalah Bencana
Ada sebuah fakta yang bertentangan dengan intuisi: Inflasi moderat sebenarnya baik untuk ekonomi.
Ketika orang memperkirakan barang akan menjadi lebih mahal di masa depan, mereka terdorong untuk berbelanja, sehingga permintaan meningkat. Permintaan mendorong investasi perusahaan, produksi meningkat, dan GDP pun bertumbuh. Contohnya di China awal tahun 2000-an—ketika CPI naik dari 0 menjadi 5%, pertumbuhan GDP melonjak dari 8% ke atas 10%.
Sebaliknya, ketika tingkat inflasi turun ke angka negatif (deflasi), bencana pun datang. Orang enggan berbelanja dan lebih memilih menabung, GDP mengalami pertumbuhan negatif. Setelah gelembung ekonomi pecah, Jepang mengalami deflasi di tahun 1990-an, dan kemudian memasuki “30 tahun masa kehilangan” yang penuh tantangan.
Oleh karena itu, bank sentral di seluruh dunia sepakat: Mengendalikan inflasi pada kisaran 2%-3% (AS, Eropa, Inggris, Jepang, Kanada, Australia) atau 2%-5% (kebanyakan negara).
Siapa yang Mendapat Manfaat dari Inflasi? Mereka yang Berutang
Secara kasat mata, inflasi membuat uang tunai Anda menjadi kurang berharga, tetapi dari sudut pandang lain: Jika Anda memiliki utang, inflasi justru menguntungkan Anda.
Contoh: 20 tahun lalu Anda meminjam 1 juta untuk membeli rumah. Dengan tingkat inflasi 3%, setelah 20 tahun, 1 juta hanya bernilai sekitar 550 ribu—Anda hanya perlu membayar setengah dari utang asli. Inilah mengapa investor berpengalaman memanfaatkan leverage saat inflasi tinggi untuk membeli aset.
Aset-aset tersebut meliputi properti, saham, emas, dan kripto. Menggunakan uang pinjaman untuk membeli aset, menikmati apresiasi aset, dan membayar utang dengan uang yang nilainya menurun—ini adalah strategi klasik melawan inflasi.
Dampak Inflasi terhadap Pasar Saham
Kesimpulan utama: Inflasi rendah mendukung pasar saham, inflasi tinggi merugikan pasar saham.
Dalam lingkungan inflasi rendah, uang panas mengalir ke saham, mendorong harga saham naik. Tapi saat inflasi melonjak ke level berbahaya, bank sentral terpaksa melakukan tindakan keras, dan biasanya pasar saham pun langsung turun—seperti yang terjadi pada tahun 2022.
Namun, di masa inflasi tinggi, ada peluang investasi. Saham energi tampil cemerlang. Pada tahun 2022, sektor energi di pasar saham AS memberikan return lebih dari 60%: Occidental Petroleum naik 111%, ExxonMobil naik 74%. Logikanya sederhana—harga energi yang melonjak langsung meningkatkan laba perusahaan energi.
Bagaimana Membangun Portofolio Tahan Inflasi?
Kuncinya adalah diversifikasi aset. Sebarkan dana ke berbagai kategori aset agar bisa menikmati pertumbuhan sekaligus melindungi dari risiko.
Aset berkualitas selama inflasi:
Kategori Aset
Prinsip Melawan Inflasi
Properti
Selama inflasi, uang beredar meningkat, masuk ke pasar properti dan mendorong harga rumah naik
Logam Mulia (emas, perak)
Emas berbanding terbalik dengan suku bunga riil (suku bunga nominal - inflasi), semakin tinggi inflasi, semakin baik performanya
Saham
Dalam jangka pendek beragam, tapi secara jangka panjang biasanya mengungguli inflasi
Mata Uang Asing (USD)
Saat suku bunga naik, dolar menguat, menjadi alat lindung nilai terhadap inflasi
Saran alokasi nyata: Bagilah dana menjadi tiga bagian, masing-masing 33%, untuk saham, emas, dan dolar. Kombinasi ini memungkinkan Anda meraih potensi pertumbuhan pasar saham sekaligus melindungi nilai dengan emas dan dolar.
Tapi masalahnya: untuk mengatur semua aset ini, Anda harus membuka rekening di broker saham, futures, dan forex—prosesnya rumit. Ada solusi satu atap?
Ada, yaitu kontrak selisih (CFD). Perdagangan CFD menawarkan berbagai instrumen (saham, emas, forex, kripto, dll), dengan leverage hingga 200x, memungkinkan Anda menggerakkan posisi besar dengan modal kecil. Misalnya, dengan leverage 100x, investasi emas hanya perlu 19 dolar AS.
Ringkasan: Filosofi Investasi di Era Inflasi
Inflasi adalah bagian normal dari ekonomi, bukan bencana. Inflasi rendah mendorong pertumbuhan GDP, sedangkan inflasi tinggi perlu diwaspadai. Kenaikan suku bunga bank sentral dapat menekan harga, tetapi juga menekan ekonomi.
Cara paling cerdas adalah: Memahami mekanisme inflasi, lalu membangun portofolio aset yang beragam, menyeimbangkan antara saham, emas, dan dolar. Gunakan alat leverage yang moderat (seperti CFD) untuk memperbesar keuntungan, dan diversifikasi untuk mengurangi risiko.
Dengan begitu, Anda bukan lagi korban pasif inflasi, melainkan investor yang aktif memanfaatkan peluang.
Lihat Asli
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
Kesempatan Investasi di Tengah Inflasi: Panduan Lengkap dari Kebijakan Kenaikan Suku Bunga hingga Penyesuaian Aset
Mengapa Kita Perlu Memahami Inflasi?
Dalam dua tahun terakhir, kenaikan harga telah menjadi tema utama ekonomi global. Bank sentral Taiwan menaikkan suku bunga sebanyak 5 kali, Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 7 kali dalam satu tahun, dan pemerintah di berbagai negara sedang berjuang melawan inflasi. Tapi sangat sedikit orang yang benar-benar memahami: apa itu inflasi? Mengapa terjadi? Dan bagaimana mendapatkan keuntungan dari situ?
Daripada pasrah menghadapi penurunan daya beli akibat inflasi, lebih baik secara aktif memahami mekanisme operasinya dan menemukan strategi penanggulangannya. Artikel ini akan membantu Anda merangkum esensi inflasi, langkah-langkah yang diambil bank sentral, serta yang terpenting—bagaimana membangun portofolio investasi tahan banting di era inflasi.
Esensi Inflasi: Ketidakseimbangan Uang dan Barang
Inflasi, singkatan dari inflasi harga konsumen, adalah fenomena di mana harga barang terus meningkat selama periode tertentu, yang menyebabkan daya beli uang menurun. Singkatnya, uang di kantong Anda semakin tidak berharga.
Ekonom menggunakan CPI (Indeks Harga Konsumen) untuk mengukur tingkat inflasi. Ketika CPI terus meningkat, itu berarti Anda perlu mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli barang yang sama.
Bagaimana Inflasi Terjadi? Empat Pendorong Utama
Pertama: Permintaan Dorong
Ketika permintaan terhadap barang tiba-tiba meningkat, penjual akan menaikkan harga, sehingga harga barang naik. Permintaan meningkat → produksi meningkat → keuntungan perusahaan → investasi lebih lanjut → permintaan semakin tinggi. Ini membentuk siklus umpan balik positif. Menariknya, inflasi yang didorong oleh permintaan meskipun menaikkan harga, juga mendorong pertumbuhan GDP, sehingga pemerintah di berbagai negara berusaha merangsang permintaan.
Kedua: Dorongan Biaya
Kenaikan harga bahan baku secara langsung meningkatkan biaya produksi. Contoh paling nyata adalah selama konflik Rusia-Ukraina tahun 2022, Eropa tidak dapat mengimpor minyak dan gas dari Rusia, harga energi naik 10 kali lipat, menyebabkan CPI di zona euro meningkat lebih dari 10% per tahun, mencapai rekor tertinggi. Inflasi yang didorong oleh biaya ini sangat mengkhawatirkan karena dapat menyebabkan penurunan output sosial dan kontraksi GDP.
Ketiga: Over-issuance Uang
Pemerintah tanpa kendali mencetak uang, langsung menyebabkan kelebihan uang beredar. Di Taiwan pada tahun 1950-an, untuk mengatasi defisit pasca perang, pemerintah menerbitkan banyak uang, akhirnya 8 juta dollar Taiwan hanya bernilai 1 dolar AS. Dalam sejarah, semua inflasi hiper yang parah disebabkan oleh kebijakan bank sentral yang ceroboh.
Keempat: Ekspektasi Kenaikan Harga
Ketika masyarakat memperkirakan harga akan terus naik di masa depan, mereka akan berbelanja lebih awal dan menuntut kenaikan gaji, sehingga penjual pun menaikkan harga. Begitu ekspektasi ini terbentuk, sulit untuk diubah, sehingga bank sentral di berbagai negara berusaha keras mengendalikan ekspektasi inflasi dan menunjukkan tekad kuat untuk menekan inflasi.
Mengapa Kenaikan Suku Bunga Dapat Menekan Inflasi? Apa Harganya?
Ketika bank sentral menaikkan suku bunga, meminjam uang menjadi lebih mahal. Misalnya, suku bunga dari 1% naik menjadi 5%, meminjam 1 juta menjadi biaya bunga tahunan dari 10 ribu menjadi 50 ribu—ini akan menakut-nakuti sebagian besar peminjam. Orang lebih memilih menyimpan uang di bank daripada berinvestasi atau berbelanja dengan risiko.
Likuiditas pasar berkurang → permintaan barang menurun → penjual terpaksa menurunkan harga untuk merangsang pembelian → tingkat harga kembali stabil. Inilah kekuatan dari kenaikan suku bunga.
Namun, harganya tidak boleh diabaikan: Ketika permintaan melemah, perusahaan akan mengurangi tenaga kerja untuk mengatasi penurunan penjualan, tingkat pengangguran naik, pertumbuhan ekonomi melambat, bahkan mengalami resesi. Contoh nyata di tahun 2022 adalah pasar saham AS—Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 425 basis poin untuk menekan CPI, yang menyebabkan indeks S&P 500 turun 19%, dan Nasdaq anjlok 33%.
Inflasi Rendah Adalah Baik, Inflasi Tinggi Adalah Bencana
Ada sebuah fakta yang bertentangan dengan intuisi: Inflasi moderat sebenarnya baik untuk ekonomi.
Ketika orang memperkirakan barang akan menjadi lebih mahal di masa depan, mereka terdorong untuk berbelanja, sehingga permintaan meningkat. Permintaan mendorong investasi perusahaan, produksi meningkat, dan GDP pun bertumbuh. Contohnya di China awal tahun 2000-an—ketika CPI naik dari 0 menjadi 5%, pertumbuhan GDP melonjak dari 8% ke atas 10%.
Sebaliknya, ketika tingkat inflasi turun ke angka negatif (deflasi), bencana pun datang. Orang enggan berbelanja dan lebih memilih menabung, GDP mengalami pertumbuhan negatif. Setelah gelembung ekonomi pecah, Jepang mengalami deflasi di tahun 1990-an, dan kemudian memasuki “30 tahun masa kehilangan” yang penuh tantangan.
Oleh karena itu, bank sentral di seluruh dunia sepakat: Mengendalikan inflasi pada kisaran 2%-3% (AS, Eropa, Inggris, Jepang, Kanada, Australia) atau 2%-5% (kebanyakan negara).
Siapa yang Mendapat Manfaat dari Inflasi? Mereka yang Berutang
Secara kasat mata, inflasi membuat uang tunai Anda menjadi kurang berharga, tetapi dari sudut pandang lain: Jika Anda memiliki utang, inflasi justru menguntungkan Anda.
Contoh: 20 tahun lalu Anda meminjam 1 juta untuk membeli rumah. Dengan tingkat inflasi 3%, setelah 20 tahun, 1 juta hanya bernilai sekitar 550 ribu—Anda hanya perlu membayar setengah dari utang asli. Inilah mengapa investor berpengalaman memanfaatkan leverage saat inflasi tinggi untuk membeli aset.
Aset-aset tersebut meliputi properti, saham, emas, dan kripto. Menggunakan uang pinjaman untuk membeli aset, menikmati apresiasi aset, dan membayar utang dengan uang yang nilainya menurun—ini adalah strategi klasik melawan inflasi.
Dampak Inflasi terhadap Pasar Saham
Kesimpulan utama: Inflasi rendah mendukung pasar saham, inflasi tinggi merugikan pasar saham.
Dalam lingkungan inflasi rendah, uang panas mengalir ke saham, mendorong harga saham naik. Tapi saat inflasi melonjak ke level berbahaya, bank sentral terpaksa melakukan tindakan keras, dan biasanya pasar saham pun langsung turun—seperti yang terjadi pada tahun 2022.
Namun, di masa inflasi tinggi, ada peluang investasi. Saham energi tampil cemerlang. Pada tahun 2022, sektor energi di pasar saham AS memberikan return lebih dari 60%: Occidental Petroleum naik 111%, ExxonMobil naik 74%. Logikanya sederhana—harga energi yang melonjak langsung meningkatkan laba perusahaan energi.
Bagaimana Membangun Portofolio Tahan Inflasi?
Kuncinya adalah diversifikasi aset. Sebarkan dana ke berbagai kategori aset agar bisa menikmati pertumbuhan sekaligus melindungi dari risiko.
Aset berkualitas selama inflasi:
Saran alokasi nyata: Bagilah dana menjadi tiga bagian, masing-masing 33%, untuk saham, emas, dan dolar. Kombinasi ini memungkinkan Anda meraih potensi pertumbuhan pasar saham sekaligus melindungi nilai dengan emas dan dolar.
Tapi masalahnya: untuk mengatur semua aset ini, Anda harus membuka rekening di broker saham, futures, dan forex—prosesnya rumit. Ada solusi satu atap?
Ada, yaitu kontrak selisih (CFD). Perdagangan CFD menawarkan berbagai instrumen (saham, emas, forex, kripto, dll), dengan leverage hingga 200x, memungkinkan Anda menggerakkan posisi besar dengan modal kecil. Misalnya, dengan leverage 100x, investasi emas hanya perlu 19 dolar AS.
Ringkasan: Filosofi Investasi di Era Inflasi
Inflasi adalah bagian normal dari ekonomi, bukan bencana. Inflasi rendah mendorong pertumbuhan GDP, sedangkan inflasi tinggi perlu diwaspadai. Kenaikan suku bunga bank sentral dapat menekan harga, tetapi juga menekan ekonomi.
Cara paling cerdas adalah: Memahami mekanisme inflasi, lalu membangun portofolio aset yang beragam, menyeimbangkan antara saham, emas, dan dolar. Gunakan alat leverage yang moderat (seperti CFD) untuk memperbesar keuntungan, dan diversifikasi untuk mengurangi risiko.
Dengan begitu, Anda bukan lagi korban pasif inflasi, melainkan investor yang aktif memanfaatkan peluang.